Kamis, 28 Januari 2010

Shalat Jumat

Diposkan oleh Abu Fauzan on Minggu, 13 Desember 2009
Label: Shalat Jumat / Comments: (0)
izin tak kopy mas
A. Arti Definisi / Pergertian Shalat Jumat

Sholat Jum’at adalah ibadah salat yang dikerjakan di hari jum’at dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.

B. Hukum Sholat Jum’at

Shalah Jum’at memiliki hukum wajib ‘ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, solat jumat tidaklah wajib hukumnya.
Dalil Al-qur’an Surah Al Jum’ah ayat 9 :
” Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

C. Syarat Sah Melaksanakan Solat Jumat

1. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk sholat jumat. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan solat jum’at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dll.
2. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum’at adalah 40 orang.
3. Shalat Jum’at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.

D. Ketentuan Shalat Jumat

Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut :
1. Mengucapkan hamdalah.
2. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4. Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5. Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6. Membaca doa.

E. Hikmah Solat Jum’at

1. Simbol persatuan sesama Umat Islam dengan berkumpul bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang rapat dan rapi.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
3. Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.

F. Sunat-Sunat Shalat Jumat

1. Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan sholat jum at.
2. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku.
3. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
4. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat.
5. Memperbanyak doa dan salawat nabi.
6. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.

Manfaat Shalat Tahajud untuk Kesehatan

Diposkan oleh Abu Fauzan on Sabtu, 23 Januari 2010
izin tak kopy paste mas
Label: Manfaat Shalat Tahajud untuk Kesehatan
bisa atasi kanker

Sebuah penelitian ilmiah membuktikan, shalat tahajjud membebaskan seseorang dari pelbagai penyakit. Berbahagialah Anda yang rajin shalat tahajjud. Di satu sisi pundi-pundi pahala Anda kian bertambah, di sisi lain, Anda pun bisa memetik keuntungan jasmaniah. Insya Allah, Anda bakal terhindar dari pelbagai penyakit . Itu bukan ungkapan teoritis semata, melainkan sudah diuji dan dibuktikan melalui penelitian ilmiah. Penelitinya dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Mohammad Sholeh, dalam usahanya meraih gelar doktor. Sholeh melakukan penelitian terhadap para siswa SMU Lukmanul Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya yang secara rutin memang menunaikan shalat tahajjud.

Ketenangan

Shalat tahajjud yang dilakukan di penghujung malam yang sunyi, kata Sholeh, bisa mendatangkan Ketenangan. Sementara ketenangan itu sendiri terbukti mampu meningkatkan ketahanan tubuh imunologik, mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan meningkatkan usia harapan hidup. Sebaliknya, bentuk-bentuk tekanan mental seperti Stres maupun Depresi membuat seseorang rentan terhadap berbagai penyakit, infeksi dan mempercepat perkembangan sel kanker serta meningkatkan metastasis (penyebaran sel kanker). Tekanan mental itu sendiri terjadi akibat gangguan irama sirkadian (siklus bioritmik manusia) yang ditandai dengan peningkatan Hormon Kortisol. Perlu diketahui, Hormon Kortisol ini biasa dipakai sebagai tolok ukur untuk mengetahui kondisi seseorang apakah jiwanya tengah terserang stres, depresi atau tidak. Untungnya, kata Sholeh, Stres Bisa Dikelola. Dan pengelolaan itu bisa dilakukan dengan cara edukatif atau dengan cara Teknis Relaksasi atau Perenungan/Tafakur dan umpan balik hayati (bio feed back). "Nah, shalat tahajjud mengandung aspek meditasi dan relaksasi sehingga dapat digunakan sebagai coping mechanism atau pereda stres yang akan meningkatkan ketahanan tubuh seseorang secara natural", jelas Sholeh dalam disertasinya berjudul Pengaruh Shalat Tahajjud Terhadap Peningkatan Perubahan Respon Ketahanan Tubuh Imunologik.
Tahajjud harus secara Ikhlas & Kontinyu
Namun pada saat yang sama, shalat tahajjud pun Bisa Mendatangkan Stres, terutama bila Tidak Dilaksanakan Secara Ikhlas dan Kontinyu. "Jika tidak dilaksanakan dengan ikhlas, bakal terjadi kegagalan dalam menjaga homeostasis atau daya adaptasi terhadap perubahan pola irama pertumbuhan sel yang normal, tetapi jika dijalankan dengan ikhlas dan kontinyu akan sebaliknya", katanya kepada Republika. Dengan begitu, keikhlasan dalam menjalankan shalat tahajjud menjadi sangat penting. Selama ini banyak kiai, dan intelektual berpendapat bahwa ikhlas adalah persoalan mental-psikis. Artinya, hanya Allah swt yang mengetahui dan mustahil dapat dibuktikan secara ilmiah. Namun lewat penelitiannya, Sholeh berpendapat lain. Ia yakin, secara medis, ikhlas yang dipandang sebagai sesuatu yang misteri itu bisa dibuktikan secara kuantitatif melalui indikator sekresi hormon kortisol. "Keikhlasan Anda dalam shalat tahajjud dapat dimonitor lewat irama sirkadian, terutama pada sekresi hormon kortisolnya", kata pria yang meraih gelar doktor pada bidang psikoneoroimunologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini. Dijelaskan Sholeh, jika ada seseorang yang merasakan sakit setelah menjalankan shalat tahajjud, besar kemungkinan itu berkaitan dengan niat yang tidak ikhlas, sehingga gagal terhadap perubahan irama sirkadian tersebut. Gangguan adaptasi itu tercermin pada sekresi kortisol dalam serum darah yang seharusnya menurun pada malam hari. Apabila sekresi kortisol tetap tinggi, maka produksi respon imunologik akan menurun sehingga berakibat munculnya gangguan kesehatan pada tubuh seseorang. Sedangkan sekresi kortisol menurun, maka indikasinya adalah terjadinyaproduksi respon imunologik yang meningkat pada tubuh seseorang. Niat yang tidak ikhlas, kata Sholeh, akan menimbulkan Kekecewaan, Persepsi Negatif, dan Rasa Tertekan. Perasaan negatif dan tertekan itu menjadikan seseorang rentan terhadap serangan stres. Dalam kondisi stres yang berkepanjangan yang ditandai dengan tingginya sekresi kortisol, maka hormon kortisol itu akan bertindak sebagai imunosupresif yang menekan proliferasi limfosit yang akan mengakibatkan imunoglobulin tidak terinduksi. Karena imunoglobulin tidak terinduksi maka sistem daya tahan tubuh akan menurun sehingga rentan terkena infeksi dan kanker. Kanker, seperti diketahui, adalah pertumbuhan sel yang tidak normal. "Nah, kalau melaksanakan shalat tahajjud dengan ikhlas dan kontinyu akan dapat merangsang pertumbuhan sel secara normal sehingga membebaskan pengamal shalat tahajjud dari berbagai penyakit dan kanker (tumor ganas)," kata alumni Pesantren Lirboyo Kediri Jatim ini. Menurutnya, shalat tahajjud yang dijalankan dengan tepat, kontinyu, khusuk, dan ikhlas dapat menimbulkan persepsi dan motivasi positif sehingga menumbuhkan coping mechanism yang efektif. Sholeh menjelaskan, respon emosional yang positif atau coping mechanism dari pengaruh shalat tahajjud ini berjalan mengalir dalam tubuh dan diterima oleh batang otak. Setelah diformat dengan bahasa otak, kemudian ditrasmisikan ke salah satu bagian otak besar yakni Talamus. Kemudian, Talamus menghubungi Hipokampus (pusat memori yang vital untuk mengkoordinasikan segala hal yang diserap indera) untuk mensekresi GABA yang bertugas sebagai pengontrol respon emosi, dan menghambat Acetylcholine, serotonis dan neurotransmiter yang lain yang memproduksi sekresi kortisol. Selain itu, Talamus juga mengontak prefrontal kiri-kanan dengan mensekresi dopanin dan menghambat sekresi seretonin dan norepinefrin. Setelah terjadi kontak timbal balik antara Talamus-Hipokampus-Amigdala-Prefrontal kiri-kanan, maka Talamus mengontak ke Hipotalamus untuk mengendalikan sekresi kortisol.

Kumpulan Shalawat Nabi

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Allah telah mengutus nabi Muhammad dan telah memberinya kekhususan dan kemuliaan untuk menyampaikan risalah. Ia telah menjadikannya rahmat bagi seluruh alam dan pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa serta menjadikannya orang yang dapat memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Maka seorang hamba harus taat kepadanya, menghormati dan melaksanakan hak-haknya.

Dengan segala jasa beliau kepada umat manusia, lalu Allah menyebutkan tindakan yang pantas untuk dilakukan kepada belliau, yakni mengucapkan shalawat. Allah swt berfirman:

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Banyak pendapat tentang pengertian Sholawat untuk nabi sollallohu ‘alaihi wa sallam, dan yang benar adalah seperti apa yang dikatakan oleh Abul Aliyah: “Sesungguhnya Sholawat dari Allah itu adalah berupa pujian bagi orang yang bersholawat untuk beliau di sisi malaikat-malaikat yang dekat” -Imam Bukhari meriwayatkannya dalam Shohihnya dengan komentar yang kuat- Dan ini adalah mengkhususkan dari rahmat-Nya yang bersifat umum. Pendapat ini diperkuat oleh syekh Muhammad bin ‘Utsaimin.

Salam: Artinya keselamatan dari segala kekurangan dan bahaya, karena dengan merangkaikan salam itu dengan sholawat maka kitapun mendapatkan apa yang kita inginkan dan terhapuslah apa yang kita takutkan. Jadi dengan salam maka apa yang kita takutkan menjadi hilang dan bersih dari kekurangan dan dengan sholawat maka apa yang kita inginkan menjadi terpenuhi dan lebih sempurna.

Hukum BershalawatKepada Nabi saw

Kaidah ushul menyebutkan, asal perintah adalah untuk menunjukkan kewajiban. Dengan adanya kaidah ini, perintah Allah untuk bershalawat di dalam surat al-Ahzab bisa difahami sebagai sebuah kewajiban. Namun di sini para ulama’ berbeda pendapat tentang kapan pelaksanaan kewajiban ini. Ada di antara mereka mengatakan kewajibannya adalah sekali dalam seumur hidup. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa shalawat di dalam tasyahhud adalah wajib. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qodhi Abu Bakar bin Bakir berkata: “Allah swt telah mewajibkan makhluk-Nya untuk bersholawat dan salam untuk nabi-Nya, dan tidak menjadikan itu dalam waktu tertentu saja. Jadi yang wajib adalah hendaklah seseorang memperbanyak sholawat dan salam untuk beliau dan tidak melalaikannya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa perintah di dalam ayat di atas dimaknai dengan sunnah saja.

Saat-Saat Yang Disunnahkan Membaca Sholawat Untuk Nabi saw

Di dalam kitab Jila’ul Afham, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan 40 tempat yang disunnahkan untuk mengucapkan shalawat. Di antaranya adalah sebagai berikut;

1- Sebelum berdoa, sebagaimana disebutkan oleh Fadhalah bin ‘Abid: “Rasulullah sollallohu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang laki-laki berdoa dalam sholatnya, tetapi tidak bersholawat untuk nabi sollallohu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: “Orang ini tergesa-gesa” Lalu beliau memanggil orang tersebut dan bersabda kepadanya dan kepada yang lainnya: “Bila salah seorang di antara kalian sholat (berdoa) maka hendaklah ia memulainya dengan pujian dan sanjungan kepada Allah lalu bersholawat untuk nabi, kemudian berdoa setelah itu dengan apa saja yang ia inginkan.” [H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad dan Hakim]

2- Ketika menyebut, mendengar dan menulis nama beliau, berdasarkan kepada sabda Rasulullah saw:

“Celakalah seseorang yang namaku disebutkan di sisinya lalu ia tidak bersholawat untukku.” [H.R. Tirmidzi dan Hakim]

3- Dianjurkan memperbanyak shalawat Nabi pada hari Jum’at, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari ‘Aus bin ‘Aus: “Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya di antara hari-hari yang paling afdhal adalah hari Jum’at, maka perbanyaklah sholawat untukku pada hari itu, karena sholawat kalian akan sampai kepadaku……” [R. Abu Daud, Ahmad dan Hakim]

4- Ketika masuk dan keluar masjid, sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan dari Fatimah ra, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Bila anda masuk mesjid, maka ucapkanlah: ”Dengan nama Allah, salam untuk Rasulullah, ya Allah sholawatlah untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, ampunilah kami dan mudahkanlah bagi kami pintu-pintu rahmat-Mu.” “Dan bila keluar dari mesjid maka ucapkanlah itu, tapi (pada penggalan akhir) diganti dengan: “Dan permudahlah bagi kami pintu-pintu karunia-Mu.” [H.R. Ibnu Majah dan Tirmidzi]

5. Ketika Shalat jenazah

Disyari’atkan bershalawat pada shalat jenazah setelah takbir yang kedua didasarkan atas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Umamah ra, bahwa beliau diberitahu oleh seorang shahabat nabi; Bahwa sunnah di dalam shalat bagi mayat adalah imam bertakbir, kemudian membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) setelah takbir pertama, kemudian bershalawat kepada Nabi saw (Hadis Shahih, diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan yang lainnya)

Cara Bershalawat kepada Rasulullah

Di dalam firman Allah di atas, Allah memerintahkan agar dalam bershalawat diikuti dengan salam, “Bersholawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab: 56) Berdasarkan ayat tersebut yang utama adalah dengan menggandengkan shalawat dan salam, seperti shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah bentuk shalawat dan salam untuk beliau saw secara umum. Maka tidak benar kalau mengucapkan salam kepada Rasulullah saw tanpa diikuti dengan shalawat, atau shalawat tanpa salam, seperti ‘alaihis salam atau allahumma shalli ‘alaih saja.

Selain dalam makna umum, shalawat harus terdiri dari shalawat dan salam, Rasulullah teleh memberikan contoh bacaan shalawat secara khusus, di dalam hadis disebutkan, dari Abi Hamid As-Sa’id -Radhiyallahu ‘Anhu- berkata: “Mereka bertanya: “Ya Rasulullah bagaimana kami bersholawat untukmu? Beliau menjawab: “Katakanlah :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Ya Allah! Berilah sholawat untuk Muhammad, istri-istri dan keturunannya, sebagaimana Engkau memberi sholawat untuk Ibrahim. Berkatilah Muhammad, istri-istri dan keturunannya, sebagaimana Engkau memberkati Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Selain bacaan shalawat tersebut, masih ada beberapa riwayat lain yang menyebutkan bacaan shalawat sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Celaan Bagi Yang Tidak Bersholawat Untuk Nabi.

Mengingat benyaknya jasa Rasul kepada kita, tentu layak kalau kita mendo’akan beliau. Terlebih lagi karena do’a itu bukan untuk beliau sendiri, tetapi untuk kita sendiri. Sebab ketika kita mengucapshalawat, banyak keutamaan yang diberikan kepada kita. Maka orang yang tidak mau mengucap shalawat kepada Nabi saw adalah sebuah tindkan kurang ajar, sekaligus sombong. Setidaknya kekurangajaran itu digambarkan di dalam riwayat dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah saw bersabda: “Orang yang paling bakhil adalah seseorang yang jika namaku disebut ia tidak bersholawat untukku.” [H.R. Nasa’i, Tirmidzi dan Thabaraniy]

Setelah Saudara memahami akan tujuan dan maksud Bershalawat….Silahkan amalkan shalawat yang ada pada BLOG ini….

Pesan Admin:

Bershalawatlah semata-mata untuk mendapatkan keridhaan Allah semata melalui penunjukkan rasa hormat dan cinta kita pada baginda Nabi Muhammad SAW… dengan begitu kita takkan rugi walaupun apa yang kita cita-citakan tidak diberikan Allah di dunia, karena akhirat lebih baik dari kehidupan yang sekarang.

Percayalah…pengorbanan waktu dan tenaga saudara dalam mengamalkan shalawat tidak akan sia-sia, karena Allah SWT akan memberikan yang terbaik bagi kita.

Jumat, 22 Januari 2010

Kalam Ilahi

kalam-ilahi.jpgKajian tentang “Kalam Ilahi” merupakan salah satu pembahasan terpenting dalam teologi di sepanjang sejarah baik di antara penganut agama-agama samawi ataupun sesama umat Islam sendiri. Dengan memperhatikan bahwa wahyu merupakan sejenis pengalaman batin dimana semacam “dialog” antara Tuhan atau malaikat pembawa wahyu dengan para Nabi, dan dengan mengetahui mekanisme “dialog” ini akan berdampak sangat penting dalam memahami hakikat wahyu. Oleh karena itu, maka dianggap urgen untuk menjelaskan terlebih dahulu tentang “Kalam Ilahi”.

Tuhan Berkalam

“Tuhan berkalam” merupakan tema yang telah disepakati keberadaannya di antara para penganut agama-agama samawi. Para nabi memproklamirkan bahwa mereka berdialog dan berbicara dengan Tuhan dan Tuhan menyampaikan pesan untuk manusia. Para pengikut para nabi mengakui dan menerima proklamasi tersebut. Syekh Thusi menulis, “Tuhan berkalam dan berbicara adalah hal yang disepakati oleh seluruh umat Islam.”[1]

Qadhi ‘Adhidu al-Din juga menyatakan, “Para nabi sepakat bahwa Tuhan berkalam, berbicara dan berdialog dengan mereka.”[2]

Sayyid Ismail Thabarsi mengungkapkan, “Seluruh umat Islam bahkan seluruh penganut agama-agama samawi sepakat bahwa Tuhan berkalam dan berbicara.”[3]

Mulla Sadra menulis, “Para penganut agama-agama samawi sepakat bahwa Tuhan berkalam dan berbicara, karena mereka mengatakan bahwa Tuhan memerintahkan dan melarang suatu perbuatan tertentu, dan perintah dan larangan merupakan bagian dari kalam Ilahi.”[4]

Al-Quran sendiri dalam beberapa ayat menisbahkan suatu pembicaraan kepada Tuhan. Sebagai contoh, “Dan (Kami telah mengutus ) rasul-rasul yang sungguh-sungguh telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa as secara langsung langsung.” (Qs. An-Nisa’: 164)

Dan dalam ayat lain disebutkan, “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (secara langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikan beberapa derajat.” (Qs. Al-Baqarah: 253).

Begitu pula pada ayat lain disebutkan, “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diberikan wahyu kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Syura: 51)

Di samping ayat-ayat yang telah kami sebutkan di atas, puluhan hadis secara jelas memaparkan bahwa Tuhan berkalam dan berbicara. Kata “al-Qaul” dan derivasinya dalam puluhan ayat dinisbahkan kepada Tuhan yang bermakna “berkata-kata” dan “berbicara”.

Demikian pula halnya kata “al-Amr” dan “an-nahyi” dan derivasinya dalam puluhan ayat dinisbahkan kepada Tuhan yang mengandung makna “berkalam” dan “berbicara”.

Oleh karena itu, “Tuhan berkalam dan berbicara” dengan para nabi adalah hal yang tidak bisa dipungkiri dan hal ini merupakan suatu kebenaran dari pengakuan para nabi dalam agama-agama samawi.

Wilayah Penggunaan “Kalam”

Kata “kalam” hadir dalam makna yang beragam dimana dengan mengkajinya bisa membantu mengungkap hakikatnya.

1. Kalam yang terucapkan

Kalam adalah suara dan huruf yang keluar dari mulut manusia yang memiliki makna khusus. Hubungan antara kata dan makna bukanlah bersifat esensial, akan tetapi dipengaruhi oleh ketetapan seseorang atau kesepakatan sekelompok masyarakat. Atas dasar inilah, suku-suku dan bangsa-bangsa berbicara dan bercakap dengan bahasa yang berbeda-beda. Pembicara (mutakallim) -dengan mengeluarkan suara dari tempat keluarnya huruf di bagian-bagian tertentu pada mulut – akan bercakap dengan kata dan makna khusus yang sebelumnya telah diterima, disepakati dan ditetapkan oleh seseorang atau sekelompok, dan mereka akan memceritakan maksud dan tujuan yang ada dalam pikirannya dengan perantaraan kata-kata tersebut. Oleh karena itu, kalam termasuk dalam kategori kualitas yang dapat “didengar”. Dalam filsafat, kategori ini berada dalam salah satu pembagian yang bersifat aksidental, yakni termasuk kategori kualitas dimana kategori kualitas itu terbagi kepada “yang didengar” dan “yang selain didengar”.

Kata yang terucapkan yang tercipta dengan perantaraan hembusan napas dan udara yang keluar secara berangsur-angsur dan setiap huruf dari kata yang terucapkan itu pasti didahului oleh suatu ketiadaan (yakni huruf yang diucapkan oleh pembicara itu baru akan terwujud setelah terucapkan). Oleh karena itu kata atau huruf yang terucapkan itu adalah bersifat hadis (atau lawan dari qadim, yakni perwujudan atau penciptaan yang didahului oleh ketiadaan).

Kalam dalam makna ini bukanlah sifat dari pembicara (mutakkalim), akan tetapi sesuatu yang tercipta melalui hembusan napas atau udara yang disebabkan dan diciptakan oleh pembicara, seperti halnya memukul dan membunuh, dan juga bukan sifat seperti ini ilmu, kodrat, hitam dan putih (yakni suatu sifat yang menempel dan mengaksiden pada sesuatu yang lain). Mutakallim adalah orang yang melakukan pembicaraan dan bukan memiliki sifat berbicara.

2. Kalam nafsi

Terkadang kalam disebut juga sebagai kalam nafsi yaitu suatu kalimat yang terucapkan dimana mengandung konsepsi, persepsi, perspektif dan gagasan pikiran mutakallim. Kelompok Asy’ariah yang pertama kali menggunakan jenis kalam nafsi ini ketika menjelaskan bahwa mutakallim sebelum berbicara telah memiliki makna dan konsep dalam pikirannya atas suatu kalimat yang ingin diucapkannya, kemudian dia mengucapkannya secara berangsur-angsur dan terciptalah kata dan kalimat itu. Dengan demikian, ia sadar apa yang ada dalam hati, jiwa dan pikirannya.

Pada pendapat Asy’ariah ini diajukan kritikan bahwa pemaknaan-pemaknaan (tashawwurat) dan penegasan-penegasan (tashdiqat) yang ada dalam pikiran kita tidak lain adalah ilmu[5] itu sendiri, dan selain ilmu tidak ada sesuatu yang lain sehingga bisa dikatakan sebagai kalam nafsi.

Asy’ariah dalam menjawab kritikan itu menyatakan bahwa kata-kata yang ada dalam pikiran kita itu bukanlah ilmu, karena terkadang manusia mengungkapkan bahwa dia tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu, bahkan terkadang dia memberitakan sesuatu yang bertentangan dengan pengetahuan hakiki, oleh karena itu apa-apa yang ada dalam pikiran adalah kalam nafsi.

Kalam nafsi juga bukan hal-hal yang disukai dan hal-hal yang tidak disenangi, karena terkadang mutakkalim memerintahkan sesuatu yang dia sendiri tidak menginginkan terjadinya sesuatu itu tetapi tujuannya hanyalah menguji orang yang diperintah, ataukah dia melarang sesuatu yang dia sendiri tidak membenci larangan tersebut. Oleh karena itu, kalam nafsi tidak identik dengan ilmu, hal-hal yang disukai dan hal-hal yang tidak disenangi, akan tetapi sesuatu yang lain yang kemudian terkait dengan subyek dalam bentuk berita, perintah, larangan, pertanyaan, panggilan dan selainnya.[6]

Asy’ariah memandang bahwa kalam hakiki adalah kalam nafsi, dan dia memberikan solusi mengenai masalah kalam Ilahi dengan jalan ini. Kalam nafsi digolongkan bersifat qadim dan merupakan sifat-sifat yang berpijak pada Zat Tuhan.

Maktab Syiah Imamiah dan Muktazilah memandang kalam nafsi ini sebagai hal yang tidak logis dan kemudian mengungkapkan penolakannya sebagai berikut:

1. Kalam hakiki dalam pandangan umum dan linguistik tidak lain adalah suara-suara dan huruf-huruf yang terucapkan yang terwujud melalui hembusan udara dengan perantaraan mutakallim, bukan makna-makna, gambara-gambaran dan konsepsi-konsepsi yang ada dalam pikiran mutakkalim.

2. Makna-makna, konsepsi-konsepsi dan kata-kata yang ada dalam pikiran mutakallim hanyalah merupakan ilmu tashawwuri (ilmu yang dihasilkan lewat penggambaran dan konsepsi) dan ilmu tashdiqi (ilmu yang dicapai dari suatu penegasan dan penetapan). Mutakkalim ketika berbicara akan memandang makna, kata dan konsepsi dan akan berbicara berdasarkan hal-hal itu. Makna, kata dan konsepsi ini terkadang dibenarkan dan dipercayai oleh mutakallim dan terkadang juga tidak. Ketika mutakallim ingin menceritakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya maka dia tetap memandang hal-hal tersebut yang walaupun tidak dibenarkan oleh hatinya. Sementara dalam masalah perintah yang dia sendiri tidak berkeinginan untuk terlaksananya dan larangan yang dia sendiri tidak membenci perwujudannya, mutakallim tetap menggambarkan kata-kata perintah dan larangan dalam pikirannya. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu selain ilmu tashawwuri dan tashdiqi yang ada dalam pikiran mutakallim sehingga bisa dikategorikan sebagai kalam.[7]

Tentang kalam nafsi, Qawsaji juga menulis, “kalam nafsi hanyalah penggambaran atas kata-kata yang terucapkan dan perolehan penggambaran ini tidak lain di alam pikiran mutakkalim.[8]

3. Kodrat berbicara dan penciptaan Huruf

Sebagian pemikir menambahkan dua makna untuk kata kalam selain makna tersebut di atas, pertama adalah sumber dan asal kalam dalam diri mutakkalim yaitu kemampuan untuk berbicara dan yang kedua adalah sifat berbicara dan menciptakan huruf dan kata-kata.

Mullah Abdullah Zanuzy menulis, “Terkadang yang dimaksud dengan kalam adalah huruf-huruf dan kata-kata itu sendiri dan makna ini telah dipahami dan digunakan secara umum dari kata kalam. Dan terkadang yang dimaksud kalam adalah berbicara (takallum) dimana terpancar huruf-huruf dan kata-kata dari seseorang. Terkadang yang dimaksud dengan kalam adalah pembicaraan, yakni sekedar penciptaan huruf dan kata-kata. Perlu ditekankan bahwa kalam pada makna yang pertama adalah tergolong perbuatan-perbuatan dan tidak termasuk sifat-sifat mutakallim. Dan kalam pada makna kedua merupakan sifat-sifat zat dan esensial mutakallim, apakah sifat ini sebagai sumber keberadaan huruf-huruf dan kata-kata yang menyatu dengan zat mutakallim itu sendiri ataukah sifat itu tidak menyatu dengan zat mutakallim. Dan makna kalam seperti ini pada hakikatnya dapat dirujukkan kepada sifat kuasa, kodrat dan kemampuan. Contoh untuk makna pertama kalam adalah Tuhan itu sendiri, karena Zat-Nya adalah sumber segala huruf-huruf dengan berbagai perbedaan tingkatan dan derajatnya. Dan untuk makna kedua kalam adalah manusia dinisbahkan dengan penciptaan huruf-huruf dan kata-kata dalam lembaran jiwanya yang dengan bantuan kodrat batinnya akan keluar dan terwujud dari rongga dada ke rongga mulutnya. Sedemikian sehingga sebelum manusia memiliki sifat hakiki dalam berbicara dan berkata-kata maka dia tidak akan bisa menjadi sumber perwujudan huruf-huruf dan kata-kata. Dan kalam dengan makna ketiga merupakan sifat perbuatan dan sifat tak hakiki karena terkait erat dengan kepenciptaan dan keperwujudan, dan sebelumnya telah dijelaskan bahwa sifat hakiki Tuhan menyatu dengan Zat-Nya dan sifat tak hakiki-Nya tidak menyatu dengan Zat-Nya.”[9]

Sebagaimana yang telah disaksikan bahwa ilmuwan ini telah menambahkan untuk kata kalam, selain maknanya yang umum digunakan, dua makna lain yaitu sumber kalam pada diri mutakallim dan sifat berbicara. Akan tetapi, kedua makna ini tidak terdapat dalam kamus-kamus bahasa. Walaupun kalam bersumber dari diri mutakallim, akan tetapi sumber kalam tersebut pada hakikatnya adalah kodrat. Demikian pula, tidak bisa dipungkiri dalam hal ini bahwa mutakallim memiliki sifat berbicara, oleh karena itu, jika kalam diartikan dan digunakan pada kedua makna tambahan tersebut maka bersifat majazi dan non-hakiki.

Perluasan Makna Kalam

Sebagian memperluas jangkauan makna kalam dengan menyatakan bahwa segala sesuatu yang menceritakan maksud yang ada di dalam jiwa seseorang disebut kalam, baik berupa kata-kata dan suara-suara, berupa petunjuk-petunjuk dengan perantaraan anggota-anggota badan, atau menunjukkan sesuatu itu sendiri, alamat-alamat dan tanda-tanda, hakikat-hakikat eksternal, lukisan dan gambar, atau kitab dan tulisan. Dikatakan bahwa kesemua itu merupakan individu-individu kalam, karena definisi kalam adalah penjelasan dan pengungkapan maksud-maksud dimana seluruh yang telah disebutkan itu bisa menjelaskan maksud dan tujuan seseorang.

Allamah Thabathabai ra menulis, “Kalam berarti penjelasan segala maksud dan tujuan dengan perantaraan suara-suara atau huruf-huruf yang maknanya bersifat penetapan belaka (tidak hakiki) dan kalam ini hanya berlaku hakiki dan benar pada manusia sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, kalam Ilahi tidak seperti kalam manusia yang keluar dari rongga mulut yang maknanya tidak hakiki dan bersifat kesepakatan semata, karena Tuhan itu bukanlah materi yang dapat memiliki peralatan-peralatan suara. Dan pada saat yang sama, dalam al-Quran dinisbahkan kepada Tuhan sifat berkalam dan berbicara, “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah Swt berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir aau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dikehendaki. Sesungguhnya Dia maha Tinggi lagi maha bijaksana.” (Qs. Asy-Syura: 51). Sekalipun telah ternafikan kalam yang bersifat non-hakiki dari Tuhan, akan tetapi hakikat kalam itu telah dibuktikan dan tegaskan bagi Tuhan. Kalam Ilahi, walaupun bukan dari kata-kata akan tetapi pengaruhnya memiliki unsur penjelasan dan penyampaian maksud-maksud. Kalam itu bisa berbentuk seperti timbangan, liter, lampu dan lain sebagainya, dan karena benda-benda lain memiliki efek dan pengaruhnya masing-masing maka dapat digolongkan sebagai bentuk-bentuk kalam itu sendiri. Dengan demikian, telah jelas bahwa segala sesuatu yang dijadikan perantara oleh Allah Swt untuk menyampaikan dan menjelaskan maksud-maksud-Nya kepada para Nabi maka disebut kalam hakiki, akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Allah sendiri telah menjelaskan hakikat kalam-Nya kepada kita dan juga kita tidak bisa mengetahui secara pasti kalam hakiki tersebut.”[10]

Oleh karena itu, tidak urgen bagi kita mencari kesamaan konsepsi kalam Ilahi dengan kalam manusia yang berupa suara dan huruf.

Dalam al-Quran, makna kalam digunakan selain dari makna umumnya, seperti tentang Nabi Isa As Allah Swt berfirman, “Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al Masih Isa putra Maryam itu adalah utudan allah dan 9 ang terjadi dengannya) kalimatNya yang disampaikanNya kepada Maryam dan (dengan Tiupan) roh daripadanya, maka berimanlah kepada Allah dan rasulNya.” (Qs. An-Nisa’: 171)

Dalam ayat tersebut Nabi Isa As merupakan salah satu dari maujud-maujud hakiki yang diperkenalkan sebagai “kalimatullah”.

Dalam ayat lain juga disebutkan sebagai berikut, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim As diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah Swt berfirman: sesungguhnya Aku menjadikanmu pemimpin (imam) bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: ” (Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: janjiku tidak mengenai orang-orang zalim.” (Qs. Al-Baqarah: 124)

Para mufassir menafsirkan “kalimat” tersebut di atas sebagai perintah kepada Nabi Ibrahim As untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail As dan pelemparan dirinya ke dalam api yang berkobar, dan tidak menafsirkannya identik dengan suara-suara dan makna kalam yang umum digunakan.

Dalam ayat lain disebutkan bahwa, “Dan seandanya pohon-pohon di muka bumi menjadi pena dan laut ( menjadi tinta) ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah keringnya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.” (Qs. Lukman: 27)

Allamah Thabathaba’i ra menafsirkan kata “kalimat” yang disebut pada ayat di atas sebagai eksistensi-eksistensi hakiki yang terwujud dengan perantaraan perintah takwiniah-Nya (yang sebagaimana dalam ayat yang artinya, “sesungguhnya perkara-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “jadilah!”. Maka terjadilah ia.”)”[11]

Oleh karena itu, seluruh makhluk adalah “kalimatullah” dan al-Quran mengatakan bahwa seluruh maujud alam semesta adalah kalimat Allah yang bersifat takwiniah yang mencerminkan kekuasaan, keagungan, ilmu, kesempurnaan dan jamaliyah-Nya.

Filosof Agung Sabzawari menulis sebagai berikut, “Seluruh eksistensi di alam ini memiliki makna-makna sedemikian sehingga tidak membutuhkan kalam atau kata tertulis yang dapat memaknainya. Kalam adalah sesuatu yang memberikan makna, dan seluruh eksistensi mengandung makna-makna yang bersifat takwiniah yang mencerminkan kebesaran, jalaliyah, keagungan, dan jamaliyah Tuhan. Setiap eksistensi sebagai tanda dan alamat dari salah satu sifat Tuhan.”[12]

Dalam kitab Nahjul Balaghah “kalimah” ditafsirkan sebagai eksistensi-eksistensi hakiki dan maujud-maujud eksternal, sebagaimana Imam Ali As bersabda, “Ketika Allah Swt hendak menciptakan sesuatu maka hanya berfirman: “Jadilah (Kun)”. Maka terciptalah sesuatu tersebut tanpa melalui perantaraan suara yang bergetar ke telinga, karena kalam Ilahi adalah perbuatan Ilahi yakni Dia menciptakan dan mewujudkan sesuatu itu.”[13]

Seluruh eksistensi adalah kalimat Tuhan yang bersumber dari ilmu dan kodrat Ilahi, pembicaraan (takallum) Tuhan adalah penciptaan dan perwujudan sesuatu yang akan menampakkan jamaliyah, jalaliyah, kesempurnaan dan kodrat Ilahi.

Mulla shadra dengan menukil sebagian perkataaan para Arif mengatakan, “Kalam pertama yang sampai ke telinga seluruh makhluk adalah kata “Kun” yang merupakan kalimat eksistensial, dengan demikian alam tidak akan tercipta kecuali dengan perantaraan kalam, bahkan seluruh alam ini adalah bagian dari kalam Ilahi.”[14]

Dari apa yang dikatakan di atas bisa disimpulkan bahwa para filosof muslim berpendapat bahwa ada dua jenis kalam yang dinisbahkan kepada Tuhan yaitu kalam takwiniah dan kalam tasyri’iah (tadwiniah):

1. Kalam takwiniah adalah hakikat-hakikat dan maujud-maujud eksternal yang terpancar atau terwujud dari Zat Tuhan dalam tiga tingkatan: pertama adalah alam akal yang nonmateri yang diwujudkan oleh Tuhan dengan perantaraan kalimat “Kun” yang bersifat takwiniah, kalimat ini disebut kalimat sempurna. Kedua alam pengatur dan malaikat nonmateri dimana masing-masingnya telah memiliki tugas dan tanggung jawab tersendiri dan tidak pernah lalai dari tugas yang dibebankan. Ketiga alam materi dan alam natural seperti manusia, hewan, tumbuhan, bebatuan dan benda-benda lain. Segala eksistensi dan maujud di tiga alam itu adalah kalimat-kalimat dan kalam hakiki Tuhan. Setiap maujud di tiga alam tersebut akan mencerminkan kesempurnaan tak terbatas Tuhan sesuai dengan potensi, kapasitas dan keluasan wujudnya. Dengan dasar inilah, kalimat-kalimat Tuhan itu bersifat hakiki.

2. Kalam tasyri’iah dan tadwiniah. Kalam tasyri’iah identik dengan ilmu dan pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt. Seluruh hakikat ilmiah (yang bersifat mencakup dan meliputi segala sesuatu yang lain) berada pada tingkatan Zat Tuhan yang Maha Tinggi. Tuhan mengetahui seluruh faktor-faktor kebahagian dan kesempurnaan duniawi, ukhrawi, jasmani dan rohani manusia, begitu pula Dia mengetahui seluruh sebab penderitaan dan kelemahan jiwa manusia. Segala pengetahuan ini dan pengetahuan kepada seluruh hakikat-hakikat alam eksistensi hadir dan menyatu pada Zat Tuhan dalam bentuknya yang basith[15]. Dan dari derajat gaib mutlak Tuhan terpancar maujud-maujud materi (maujud yang terendah) dengan perantaraan eksistensi-eksistensi nonmateri (eksistensi alam akal dan alam mitsal atau barzakh). Maksudnya adalah ilmu gaib Tuhan itu pertama-tama akan dipancarkan ke alam akal nonmateri dimana merupakan kalam sempurna Ilahi, dan lewat jalur inilah kemudian disampaikan kepada malaikat pembawa wahyu (Jibrail As), serta dengan perantaraan Jibril As dipancarkan ke dalam hati suci para nabi. Para nabi di alam batinya “mendengarkan” kalam Ilahi itu dengan perantaraan malaikat, dan dia mencerapnya dengan sangat jelas serta menyaksikannya dengan ilmu huduri. Akan tetapi, ilmu Tuhan yang hadir di hati para nabi dengan jalan ini yang telah mengalami penurunan (yakni dari alam akal hingga ke hati suci para nabi) sedemikian rupa itu masih dalam bentuknya yang basith yang tidak sama dengan pengetahuan umum lainnya (yakni pengetahuan lain manusia selain wahyu). Ilmu Tuhan yang dianugrahkan kepada para nabi ini disebut kalam Ilahi, akan tetapi bukan dalam bentuk suara-suara dan huruf-huruf yang bisa didengar oleh telinga lahiriah. Kalam Ilahi ini bisa didengar, namun oleh telinga batin dan hati. Ilmu yang diterima oleh para Nabi itu adalah kalam Ilahi dan merupakan cerminan dari ilmu-ilmu gaib Tuhan, namun ilmu itu turun secara sekaligus dan tidak berangsur-angsur. Kemudian kalam Ilahi yang bersifat basith dan bercahaya inilah yang terpancar ke hati dan akal para Nabi lantas ke jiwa hewani dan dari jiwa hewani ke daya khayal (imajinasi)[16]. Dari daya imajinasi ini akan mewujudkan keinginan dan kehendak manusia, kemudian akan mempengaruhi saraf-saraf dan otak serta menggerakan lidah yang dengan perantaraan hembusan udara lahirlah suara-suara. Jadi, kalam Ilahi yang basith dan bercahaya tersebutlah yang kemudian berbentuk kalimat-kalimat dan kalam yang hadir secara berangsur-angsur dan berbentuk perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan, pernyataan-pernyataan dan berita-berita Ilahi. Dan dengan jalan inilah, kalam Ilahi itu sampai ke telinga kaum mukmin dan setelah melewati beberapa fase lagi, ia kemudian hadir di hati suci mereka atau akan dicerap oleh kaum mukmin dengan perantaraan tulisan-tulisan, teks-teks dan lembaran-lembaran kitab. Itu adalah kalam Ilahi yang hadir dan terpancar melalui seluruh tingkatan dalam bentuk-bentuk yang beragam. Semuanya itu adalah kalam Ilahi yang terwujud dari ilmu gaib Tuhan dan yang mencerminkan Zat Suci Tuhan.

Nabi Isa As sebagai Kalam Ilahi

Dalam beberapa ayat al-Quran yang dimaksudkan dengan “kalimat” adalah Nabi Isa As, sebagaimana Allah Swt berfirman, “Kemudian Malaikat Jibril memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab (katanya: “Sesungguhnya Allah menggembirakan kami dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari pengaruh hawa nafsu) dan seorang nabi dari keturunan orang-orang shaleh.” (Qs. Ali Imran: 39)

Mayoritas para mufassir mengatakan bahwa “kalimat” dalam ayat tersebut adalah Nabi Isa as.

Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman, “(Ingatlah) ketika Malaikat berkata, “hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kalimat dari-Nya namanya Al Masih Isa putera Maryam. Seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan salah seorang di antara orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” (Qs. Ali Imran: 45)

Dalam ayat ini yang dimaksudkan dengan “kalimat” adalah Nabi Isa As dan beliau pun dikenal sebagai Kalimatullah. Dan dalam ayat lain Allah Swt berfirman, “Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih Isa putra Maryam itu adalah ututsan Allah dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikannya kepada Maryam dan (dengan tiupan) roh daripadaNya.” (QS. AN-Nisa’: 171)

Dalam ayat ini Nabi Isa As juga diperkenalkan sebagai “kalimat” Allah, akan tetapi dengan pengertian bahwa telah diilhamkan kepada Maryam dan menjadi jelas bahwa Nabi Isa As sebagai kalimat-Nya dapat disamakan sebagaimana sebuah perkataan dan ucapan yang disampaikan kepada Maryam.

Dan di ayat lain juga Allah Swt berfirman, “Maryam berkata: “Ya Allah-ku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun”. Allah berfirman (dengan perantaran jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya “jadilah” lalu jadilah dia.” (QS. Ali Imran: 47)

Dalam ayat di atas dapat kita simpulkan bahwa “kalimat” yang diilhamkan kepada Maryam adalah kalimat “Kun” yang bersumber dari Allah Swt, dan berkat pengaruh dari kalimat takwiniah (yakni “Kun”) yang bersifat tidak alami ini menyebabkan hadirnya nutfah Nabi Isa As di rahim Maryam, dan Maryam pun menjadi hamil. Dalam ayat lain secara gamblang dijelaskan mengenai hal tersebut, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepada: “jadilah” seorang manusia maka jadilah dia.” (Qs. Ali Imran: 59)

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Nabi Isa As dan Nabi Adam As memiliki unsur kesamaan penciptaan yang tidak melalui proses alamiah yang sebagaimana terjadi pada manusia biasa, dan kedua nabi Tuhan itu terwujud dengan perintah Allah Swt (yakni dengan kalimat “Kun”). Yang dimaksud “kalimat” yang diilhamakan kepada Maryam adalah kalimat “Kun”.

Sebenarnya seluruh eksistensi itu tercipta dan terwujud berkat perintah Allah Swt. Akan tetapi, Nabi Isa As tercipta tanpa ayah dan berkat perintah langsung Allah Swt, begitu pula Nabi Adam As yang tercipta tanpa ayah dan ibu dimana hanya dengan perintah Tuhan semata-mata.

Syaikh Ismail Haqqi dalam kitab tafsirnya menuliskan, “Nabi Isa As tercipta dengan perantaraan kalimat Allah dan dengan perintah “Kun” serta tanpa perantaraan seorang ayah, sekalipun seluruh eksistensi tercipta dengan perintah “Kun” Ilahi, akan tetapi dengan melalui perantara-perantara yakni perintah “Kun” itu pertama-tama terkait dengan ayah kemudian kepada anak. Sementara pada kasus Nabi Isa As tidak seperti itu, tetapi secara langsung terkait dengan Nabi Isa kemudian tinggal dalam rahim Maryam tanpa melalui perantaraan ayah. Dengan demikian, Nabi Isa As tercipta melalui perantaraan kalimat “Kun” dan kalimat ini adalah kalimatullah yang diilhamkan kepada Maryam, oleh sebab itulah Nabi Isa As disebut sebagai Kalimatullah.”[17]

Muhammad Rasyid Ridha dalam menafsirkan ayat tersebut menulis, “Sekalipun seluruh eksistensi terwujud dengan perantaraan kalimat takwiniah, kalimat “Kun“, itu dan hal ini tidak dikhususkan kepada Nabi Isa As saja. Akan tetapi, karena segala sesuatu secara hakiki dinisbahkan kepada sebab-sebabnya, dan dalam masalah penciptaan Nabi Isa As, sebab-sebab hakikinya tidak sebagaimana penciptaan manusia pada umumnya yakni bertemunya sperma laki-laki dengan sel telur perempuan, namun penciptaannya dinisbahkan kepada “kalimat Allah”, dan penamaan hasil penciptaan itu sebagai “kalimat” lebih bersifat penegasan akan penting persoalan itu, karena tanpa alasan yang sangat penting itu mustahil suatu “akibat” dikatakan sebagai suatu “sebab”.”[18]

Kesimpulannya, yang dimaksud dengan “kalimat” dalam ayat di atas adalah Nabi Isa As dan sebab kehadirannya adalah dengan perantaraan kalimat takwiniah Tuhan (kalimat “Kun“) dan tanpa ayah, oleh sebab itulah dalam surah an-Nisa’ ayat 171 digunakan kata ganti (dhamir) perempuan dan disebutkan “il qâ ha” (diilhamkan-nya) di mana kata gantinya kembali kepada perempuan, dan dalam ayat 45 surah Ali Imran menggunakan kata ganti untuk laki-laki dikatakan “is mu hu Al Masih” (nama-nya Al Masih) di mana kata ganti itu kembali kepada “kalimat” yang pada hakikatnya adalah dinisbahkan kepada anak laki-laki yang berada di rahim ibunya.

Allamah Thabathabai ra juga menafsirkan kata “kalimat” dalam ayat di atas sebagai Nabi Isa As.[19] Para mufasir dalam penafsiran ayat tersebut memberikan kemungkinan-kemungkinan tafsiran lain yang secara lahiriah bertolak belakang dengan ayat tersebut.[20]

“Kalimat” dalam Agama Kristen

Di dalam kitab-kitab Injil, yang dimaksud dengan “kalimah” adalah Nabi Isa As. Dalam kitab Injil Yohana tercatat sebagai berikut, “Yang pertama kali tercipta adalah kalimat, dan kalimat itu ada di sisi Allah dan Allah adalah kalimat itu sendiri. Semuanya di sisi Allah. Dan segala sesuatu berasal dari Dia dan selain Dia tiada dan segala sesuatu bersumber dari Dia. Dengan sebab Dia, kehidupan itu tercipta dan kehidupan adalah cahaya umat manusia. Nur terpancar dalam kegelapan dan kegelapan tidak menerima cahaya. Seorang manusia diutus oleh Allah yang bernama Yohana. Datang untuk memberi kesaksian terhadap cahaya sehingga umat manusia beriman kepada Cahaya, Yohana bukanlah cahaya itu, tetapi datang untuk memberi kesaksian kepada cahaya. Cahaya hakiki adalah orang yang memberikan cahaya kepada setiap orang yang datang ke alam ini, dia di alam tersebut dan alam terwujud darinya, namun alam tidak mengenalnya, dia datang kepada orang-orang khususnya akan tetapi mereka tidak menerimanya. Dia diserahkan kepada sekelompok orang yang menerimanya yakni penguasa-penguasa yang merupakan anak-anak Allah dan sebagai pemberi keimanan dengan nama dia. Mereka bukan dari darah, bukan dari daging dan bukan dari keinginan laki-laki, akan tetapi mereka di terlahirkan dari Allah dan menjadi kalimat badan, kemudian dia dihadirkan ke bumi dan kami menyaksikan bahwa kebesarannya seperti kebesaran anak tunggal dari seorang ayah yang merupakan sumber nikmat dan kebenaran. Yohana bersaksi atasnya dan berteriak kemudian berkata: inilah orang yang aku katakan akan datang setelah saya dan posisinya sebelum saya, karena dia lebih dahulu dari saya dan kita semua mengambil dari bidadarinya atau suatu nikmat yang diganti dengan nikmat lain, karena agama dan kitab diberikan kepada Nabi Musa As, dan nikmat dan kebenaran dimestikan untuk pengikut Masehi.”[21]

Para penganut agama Kristen menafsirkan “kalimat” di atas sebagai Isa Al Masih As.

Dalam kamus Kitab Muqaddas tercatat, “yang dimaksud kalimat adalah Tuhan kita, Isa Al Masih.”[22] Mereka menafsirkan ungkapan-ungkapan Injil ini supaya sesuai dengan keyakinan trinitas.

Akan tetapi, dengan meneliti dan mencermati ungkapan dalam kitab Injil, terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan “kalimat” adalah sama dengan apa yang dikatakan oleh al-Quran tentangnya dimana dinisbahkan kepada Nabi Isa As. Bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud “kalimat” adalah perkara takwiniah dan penciptaan Allah Swt yaitu kalimat “Kun“. Oleh karena itu, “kalimat” berarti menciptakan dan mewujudkan sesuatu dimana termasuk salah satu sifat Tuhan sebelum segala sesuatu tercipta dan menjadi sumber bagi seluruh eksistensi. Dan kalimat perintah “Kun” inilah yang terjadi pada Nabi Isa As, karena Maryam mengandung Nabi Isa As tidak berdasarkan proses alami yakni tidak dengan perantaraan seorang suami, akan tetapi dengan suatu mukjizat Ilahi dan hanya dengan kalimat perintah “Kun” dari Tuhan, oleh karena itulah disebut sebagai “kalimat Ilahi” atau “Kalimatullah”.[www.wisdoms4all.com]

Tata Cara Wudlu / Wudhu yang Sempurna Sesuai Dengan Ajaran Rosulallah SAW - Ilmu Agama Islam

Di dalam wudlu ada syarat, rukun, serta sunat :

A. Syarat

Syarat adalah hal yang harus ada atau di lakukan sebelum wudlu. di antara syarat wudlu adalah:
1. Islam (tidak sah wudlunya orang non muslim)
2. Baligh (tidak sah wudlunya anak kecil, karena anak kecil selalui suci)
3. Berakal sehat (tidak sah wudlunya orang yang toidaok berakal sehat)

B. Rukun

Rukun adalah suatu yang di kerjakan ketika melakukan pekerjaan itu. diantra rukun wudlu enam yaitu:
1. Niat "nawaitul wudlua li rof'il hadastil asghori fardla lillahi Ta'ala"{saya niat wudlu untuk menghilangkan hadast kecil fardu(wajib) karena Allah}
2. Membasuh muka rata. mulai dari ujung rambut sampai dengan pangkal janggut.
3. Membasuh kedua tangan. mulai ujung jari sampai siku-siku
4. Mengusap sebagian rambut
5. Membasuh kaki sampai kedua mata kaki
6. Tertib

C. Sunah-sunah wudlu

Sunah adalah apabila kita kerjakan maka kita akan mendapat pahala dan apabia kita tinggalkan tidak apa-apa. adapun sunah-sunah wudlu sangat banyak sekali, diantaranya adalah:
1. Membaca bismilah sebelum wudlu
2. Mencuci tangan
3. Berkumur-kumur
4. Mencuci hidung dengan air
5. Mengusap kedua daun telinga setelah mengusap rambut
6. Berdoa setelah wudlu "ya allah jadikanlah kami termasuk orng-orang yang taubat, orang-orang yang suci, dan golongkanlah kami kedalam orang-orang yang soleh"

Pengertian Wudhu/Wudu dan Tata Cara Wudhu - Agama Islam

Wudhu adalah mensucikan diri dari segala hadast kecil sesuai dengan aturan syariat islam.

Niat Wudhu :
NAWAITUL WUDHUU-A LIROF'IL HADATSIL ASGHORI FARDHOL LILLAHI TA'AALAA.

Artinya :
Saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadats kecil karena Allah Ta'ala.

Yang dapat membatalkan wudhu anda :
a. mengeluarkan suatu zat dari qubul (kemaluan) dan dubur (anus). Misalnya buang air kecil, air besar, buang angin/kentut dan lain sebagainya.
b. kehilangan kesadaran baik karena pingsan, ayan, kesurupan, gila, mabuk, dan lain-lain.
c. Bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya tanpa tutup.
d. tidur dengan nyenyak, kecuali tidur mikro (micro sleep) sambil duduk tanpa berubah kedudukan.

Cara Berwudhu :
a. membaca bismillah
b. membasuh tangan
c. niat wudhu
d. berkumur dan membesihkan gigi (3x)
e. membasuh seluruh muka/wajah sampai rata (sela-sea janggut bila ada) (3x)
f. membasuh tangan hinnga siku merata (3x yang kanan dulu)
g. membasuh rambut bagian depan hingga rata (3x)
h. membasuh daun telinga/kuping hinnga merata (3x sebelah kanan dulu)
i. membasuh kaki hingga mata kaki sampai rata (3x kanan dahulu)
j. membaca doa setelah wudhu


Do’a Setelah Wudhu





أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ


“Aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan yang haq kecuali Allah, Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi, bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya” HR. Muslim: 1/209



اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang (yang senang) bersuci”

HR. At-Tirmidzi: 1/78, dan lihat Shahih At-Tirmidzi: 1/18.





Do'a



* Do'a sebelum wudhu

"bismillah"

Dengan Nama Allah (aku berwudhu).
* Do'a setelah wudhu

"Asyhadu allaa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalahu wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa rosuuluh"

Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah, Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Aku bersaksi bahwa Muhammad shallallaahu'alaihi wasallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

"Allaahummaj'alnii minattawwaabiina waj'alni minalmutathohhiriin"

Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang (yang senang) bersuci.

Bacaan Sholat Fardhu 5 Waktu

Sub Page ini Saya buat untuk rekan2 yang ingin memperdalam Sholat Fardhu dengan meyakini dimana Sholat merupakan sebuah Media (ritual) berkomunikasi antara Mahluk dengan Sang Pencipta Allah Swt. dan dikhususkan juga bagi rekan2 yang mualaf.

Sehingga Sholat terdeskripsi tidak hanya dengan menbunyikan Surah atau pun Doa, akan tetapi dengan mengerti, meyakini, berkomunikasi memohon penuh dengan kekhusyukan kepada Tuhan YME

Semoga posting ini dapat mengantarkan kita semua ke dalam Ridho Allah Swt. dan lebih serta kurangnya saya mohonkan bimbingan bantuan dari saudara2 sekalian terimakasih.

Maaf bila sub page ini dengan tidak mengurangi rasa hormat saya tidak sisipkan “baca selanjutnya / more”

Jika ingin mendownload filenya klik di sini

DOA IFTITAH

ALLAAHU AKBARU KABIIRAA WAL HAMDU LILLAAHI KATSIIRAA WASUBHAANALLAAHI BUKRATAW WAASHIILAA.

Allah Maha Besar, Maha Sempurna Kebesaran-Nya. Segala Puji Bagi Allah, Pujian Yang Sebanyak-Banyaknya. Dan Maha Suci Allah Sepanjang Pagi Dan Petang.

INNII WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATHARAS SAMAAWAATI WAL ARDHA HANIIFAM MUSLIMAW WAMAA ANA MINAL MUSYRIKIIN.

Kuhadapkan Wajahku Kepada Zat Yang Telah Menciptakan Langit Dan Bumi Dengan Penuh Ketulusan Dan Kepasrahan Dan Aku Bukanlah Termasuk Orang-Orang Yang Musyrik.

INNA SHALAATII WANUSUKII WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAAHIRABBIL ‘AALAMIIN.

Sesungguhnya Sahalatku, Ibadahku, Hidupku Dan Matiku Semuanya Untuk Allah, Penguasa Alam Semesta.

LAA SYARIIKA LAHUU WA BIDZAALIKA UMIRTU WA ANA MINAL MUSLIMIIN.

Tidak Ada Sekutu Bagi-Nya Dan Dengan Demikianlah Aku Diperintahkan Dan Aku Termasuk Orang-Orang Islam.

AL-FATIHAH

BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM.

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

AL HAMDU LILLAAHI RABBIL ‘AALAMIIN.

Segala Puji Bagi Allah, Tuhan Semesta Alam.

ARRAHMAANIR RAHIIM.

Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

MAALIKIYAUMIDDIIN.

Penguasa Hari Pembalasan.

IYYAAKA NA’BUDU WAIYYAAKA NASTA’IINU.

Hanya Kepada-Mu lah Aku Menyembah Dan Hanya Kepada-Mu lah Aku Memohon Pertolongan.

IHDINASH SHIRAATHAL MUSTAQIIM.

Tunjukilah Kami Jalan Yang Lurus.

SHIRAATHAL LADZIINA AN’AMTA ‘ALAIHIM GHAIRIL MAGHDHUUBI ‘ALAIHIM WALADHDHAALLIIN. AAMIIN.

Yaitu Jalannya Orang-Orang Yang Telah Kau Berikan Nikmat, Bukan Jalannya Orang-Orang Yang Kau Murkai Dan Bukan Pula Jalannya Orang-Orang Yang Sesat.

R U K U’

SUBHAANA RABBIYAL ‘ADZIIMI WA BIHAMDIH. – 3 x

Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung Dan Dengan Memuji-Nya.

I’TIDAL

SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAH.

Semoga Allah Mendengar ( Menerima ) Pujian Orang Yang Memuji-Nya ( Dan Membalasnya ).

RABBANAA LAKAL HAMDU MIL’US SAMAAWATI WA MIL ‘ULARDHI WA MIL ‘UMAASYI’TA MIN SYAI’IN BA’DU.

Wahai Tuhan Kami ! Hanya Untuk-Mu lah Segala Puji, Sepenuh Langit Dan Bumi Dan Sepenuh Barang Yang Kau Kehendaki Sesudahnya.

SUJUD

SUBHAANA RABBIYAL A‘LAA WA BIHAMDIH. – 3 x

Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi Dan Dengan Memuji-Nya.

DUDUK DIANTARA DUA SUJUD

RABBIGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WARFA’NII WARZUQNII WAHDINII WA’AAFINII WA’FU ‘ANNII.

Ya Tuhanku ! Ampunilah Aku, Kasihanilah Aku, Cukupkanlah ( Kekurangan )-Ku, Angkatlah ( Derajat )-Ku, Berilah Aku Rezki, Berilah Aku Petunjuk, Berilah Aku Kesehatan Dan Maafkanlah ( Kesalahan )-Ku.

TASYAHUD AWAL

ATTAHIYYAATUL MUBAARAKAATUSH SHALAWATUTH THAYYIBAATU LILLAAH.

Segala Kehormatan, Keberkahan, Rahmat Dan Kebaikan Adalah Milik Allah.

ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAAHI WABARAKAATUH.

Semoga Keselamatan, Rahmat Allah Dan Berkah-Nya ( Tetap Tercurahkan ) Atas Mu, Wahai Nabi.

ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADADILLAAHISH SHAALIHIIN.

Semoga Keselamatan ( Tetap Terlimpahkan ) Atas Kami Dan Atas Hamba-Hamba Allah Yang Saleh.

ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASUULULLAAH.

Aku Bersaksi Bahwa Tidak Ada Tuhan Selain Allah. Dan Aku Bersaksi Bahwa Muhammad Adalah Utusan Allah.

ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD.

Wahai Allah ! Limpahkanlah Rahmat Kepada Penghulu Kami, Nabi Muhammad !.

TASYAHUD AKHIR

ATTAHIYYAATUL MUBAARAKAATUSH SHALAWATUTH THAYYIBAATU LILLAAH.

Segala Kehormatan, Keberkahan, Rahmat Dan Kebaikan Adalah Milik Allah.

ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAAHI WABARAKAATUH.

Semoga Keselamatan, Rahmat Allah Dan Berkah-Nya ( Tetap Tercurahkan ) Atas Mu, Wahai Nabi.

ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADADILLAAHISH SHAALIHIIN.

Semoga Keselamatan ( Tetap Terlimpahkan ) Atas Kami Dan Atas Hamba-Hamba Allah Yang Saleh.

ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASUULULLAAH.

Aku Bersaksi Bahwa Tidak Ada Tuhan Selain Allah. Dan Aku Bersaksi Bahwa Muhammad Adalah Utusan Allah.

ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD ( tasyahud awal ) WA ‘ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMAD.

Wahai Allah ! Limpahkanlah Rahmat Kepada Penghulu Kami, Nabi Muhammad Dan Kepada Keluarga Penghulu Kami Nabi Muhammad.

KAMAA SHALLAITAA ‘ALAA SAYYIDINAA IBRAAHIIM WA ‘ALAA AALI SAYYIDINAA IBRAAHIIM.

Sebagaimana Telah Engkau Limpahkan Rahmat Kepada Penghulu Kami, Nabi Ibrahim Dan Kepada Keluarganya.

WA BAARIK ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMAD.

Dan Limpahkanlah Berkah Kepada Penghulu Kami, Nabi Muhammad Dan Kepada Keluarganya.

KAMAA BAARAKTA ‘ALAA SAYYIDINAA IBRAAHIIM WA ‘ALAA AALI SAYYIDINAA IBRAAHIIM.

Sebagaimana Telah Engkau Limpahkan Berkah Kepada Penghulu Kami, Nabi Ibrahim Dan Kepada Keluarganya.

FIL ‘AALAMIINA INNAKA HAMIIDUMMAJIID. YAA MUQALLIBAL QULUUB. TSABBIT QALBII ‘ALAA DIINIK.

Sungguh Di Alam Semesta Ini, Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Mulia. Wahai Zat Yang Menggerakkan Hati. Tetapkanlah Hatiku Pada Agama-Mu.

Bacaan Zikir Setelah Shalat

Sumber :
Kitab Subulus Salaam,
Muhammad bin Isma'il ash-Shan'ani
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


Seseorang dituntut agar melaksanakan salat seperti salatnya Nabi sesuai dengan sabdanya, "Sholluu Kamaa Roatumuuni Usholli" (salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sedang salat). Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan zikir jika telah selesai salat, maka kita juga mengerjakannya, meskipun tidak mampu selengkap beliau.

Zikir-zikir yang di baca Nabi saw setiap selesai salat banyak sekali, baik yang diriwayatkan dengan sanad yang dhaif/lemah ataupun yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih (kuat). Adapun zikir-zikir yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih itu di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Membaca 'Istighfar' (Astaghfirullah/Aku mohon ampunan kepada Allah 3 kali dan membaca, 'Allahumma antas salaam waminkas salaam tabaarokta yaa dzal jalaali wal ikroomi' (Ya Allah Engkaulah Dzat Yang Selamat dari kekurangan dan cacat dan dari Engkaulah keselamatan itu, Maha Suci Engkau wahai Dzat Yang Maha Kaya dan Maha Sempurna).

Hal itu sesuai dengan hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Tsauban ra, dia berkata, "Rasulullah saw apabila selesai salat membaca Istighfar 3 kali dan membaca, 'Allahumma antas salaam waminkas salaam tabaarokta yaa dzal jalaali wal ikroomi'." (Ya Allah, Engkaulah Dzat Yang Selamat dari kekurangan dan cacat dan dari Engkaulah keselamatan itu, Maha Suci Engkau wahai Dzat Yang Maha Kaya dan Maha Sempurna).

2. Membaca zikir ini: "Laa ilaha illallahu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa 'ala kulli syain qodiir" (Tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa Allah, Tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan bagi-Nya segala puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu) dan membaca, "Allahumma laa maani'a limaa 'a'thaita walaa mu'thia limaa mana'ta walaa yanfa'u dzal jaddi minkal jaddu."

Hal itu sesuai dengan hadis dari al-Mughirah bin Syu'bah ra, bahwasanya Nabi saw membaca zikir setiap selesai salat fardhu, "Laa ilaha illallahu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa ala kulli sya'in qodiir" (Tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa Allah, Tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan bagi-Nya segala puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu) "Allahumma laa maani'a limaa 'a'thaita walaa mu'thia limaa mana'ta walaa yanfa'u dzal jaddi minkal jaddu' (Ya Allah tiada orang yang menghalangi terhadap apa yang telah Engkau berikan dan tiada orang yang memberi terhadap apa yang telah Engkau halangi dan kekayaan orang yang kaya itu tidak akan bisa menyelamatkan dia dari siksa-Mu)" (HR al-Bukhari dan Muslim).

3. Membaca Tasbih 33 kali, Tahmid 33 kali dan Takbir 33 kali, lalu pada hitungan keseratus membaca, "Laa ilaha illallohu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa 'ala kulli syain qadiir."

Hal itu sesuai dengan hadis dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa membaca tasbih (Subhaanallahi) 33 kali, tahmid (Alhamdulillahi) 33 kali dan takbir (Allahu Akbar 33 kali) setiap selesai salat, hitungan tersebut berjumlah 99, dan dia membaca pada hitugan keseratus 'Laa ilaha illallahu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa ala kulli sya'in qodiir' (Tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa Allah, Tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan bagi-Nya segala puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu), maka diampunilah segala dosa-dosanya, sekalipun sebanyak buih air laut." (HR Muslim, dan pada riwayat yang lain, takbir tersebut sebanyak 34 kali)

4. Membaca zikir/do'a seperti yang diriwayatkan Sa'd bin Abi Waqqash untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT dari kekikiran, sifat penakut, umur yang hina/pikun, fitnah dunia dan fitnah kubur.

Dari Sa'ad bin Abi Waqqash ra, bahwa Rasulullah saw memohon perlindungan kepada Allah setiap kali selesai salat dengan bacaan "Allahumma inni a'udzu bika minal bukhli (Ya Allah sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekikiran) wa a'udzu bika minal jubni (dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari sifat penakut) wa a'udzu bika min an urodda ilaa ardzalil umri (dan aku memohon perlindungan kepada-Mu agar tidak dikembalikan kepada umur yang hina/pikun) wa a'udzu bika min fitnatid dunya (dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah yang ada di dunia ini) wa a'udzu bika min adzaabil qobri (dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari siksa kubur)." (HR al-Bukhari).

5. Membaca zikir/doa,

"Allahumma a'inni 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibadatika'.

Hal ini sesuai dengan hadis Muadz bin Jabal, bahwa Rasulullah saw berkata kepadanya, "Aku berwasiat kepadamu wahai Muadz, janganlah Engkau benar-benar meninggalkan setiap kali selesai salat membaca, 'Allahumma a'inni 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibadatika' (Ya Allah anugerahkanlah pertolongan kepadaku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah yang baik kepada-Mu)." (HR Ahmad, Abu Daud dan an-Nasa'i dengan sanad yang kuat).

6. Membaca ayat Kursi, yaitu surah Al-Baqarah ayat 255, "Allahu laa Ilaaha Illa huwal hayyul qoyyuum, laa ta'khudzuhu sinatuw walaa nauum, lahuu maa fis samaawaati wamaa fil ardhi, mandzal ladzii yasyfa'u 'indahuu illa bi idznihi, ya'lamu maa baiina aidiihim wamaa kholfahum, walaa yuhiithuuna bisyain min 'ilmihi illa bimaa syaa'a, wasi'a kursiyyuhus samaawati wal ardho wa laa yauduhu hifdzuhumaa wahuwal 'aliyyul 'adziim' (Allah, tidak ada Tuhan [yang berhak disembah] melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus [makhluk-Nya], tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar).

Hal itu sesuai dengan hadis dari Umamah ra, Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa membaca ayat Kursi setiap kali selesai salat, maka tidak akan menghalangi dia masuk surga kecuali dia tidak mati (maksudnya, dia pasti masuk surga)." (HR an-Nasa'i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, at-Thabarani menambahkannya 'qulhuwallahu ahad' (yakni dan membaca surah Al-Ikhlash) ).
Semoga bermanfaat.

[DOA] mOhOn dimudahkan segala uRusan

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
(QS. Al Baqarah, 2 : 286)

رَبَّنَا ءَاتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

Robbanaa aatinaa minladunka rohmataw wahayya lanaa min amrinaa rosyada

“Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”. (Q.S. Al-kahfi : 10)



Do'a Mohon diberi Kemudahan


Baik sekali dibaca oleh para pejuang muda yang menegakkan agama Allah agar mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan. Karena doa tersebut adalah doa yang dibaca pemuda Ashhab al-Kahfi


Artinya: "Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini." (QS. Al-Kahfi: 10).

Penjelasan:
Doa diatas baik sekali dibaca oleh para pejuang muda yang menegakkan agama Allah agar mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan. Karena doa tersebut adalah doa yang dibaca pemuda Ashh�b al-Kahfi, yakni sekelompok pemuda yang beriman kepada Allah Swt. hingga mendapatkan petunjuk yang sempurna dari sisi-Nya. Doa ini dibaca oleh mereka ketika akan masuk gua sebagai persembunyiannya untuk menyelamatkan agama yang hak, agama yang mereka pegangi dari fitnah-fitnah dan orang-orang zhalim. Dan Allah Swt. mengabulkan doa mereka Kisah Ashh�bu al-Kahfi dapat dibaca dalam Surah Al-Kahfi dari ayat 9-26. Posted by Picasa




[DOA] setelah shalat faRdhu



Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.
(Q.S. Al Ahzab, 33 : 42-43)

1. Apabila Rasulullah SAW berpaling dari shalatnya, maka beliau :
a. Membaca Istighfar 3 X
b. Membaca dzikir berikut :

اللهم أنت السـلام ومنك السلام تباركت يا ذاالجلال ولإكرام

Allohumma antassalam, waminkassalam, tabarokta yaa dzaljalali wal ikraam

“Ya Allah, Engkaulah Salam, dan daripada-Mu kesejahteraan, serta Maha Besar kebaikan-Mu, ya Allah yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.” (H.R. Jamaah selain Bukhary)

2. Rasulullah s.a.w bersabda: Kamu bertasbih سُبْحَانَ اللهُ bertakbir اللهُ أَكبرُ dan bertahmid الحمدُ لِاللهُِ setiap kali setelah selesai dari sembahyang sebanyak tiga puluh tiga kali (H.R. Bukhari-Muslim)

3. “Barangsiapa setiap selesai shalat membaca Tasbih 33 kali, membaca tahmid 33 kali, takbir 33 kali hingga jumlahnya 99, lalu mencukupkan dengan bacaan:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Laa Ilaaha Illalloh wahdahu laasyariikalah lahulmulku walahulhamdu wahuwa ‘alaa kulli syaiin qadiir

Maka diampunilah dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan sekalipun (H.R. Ahmad, Bukhari, Muslim dan Abu Daud)

4. Berdoa Setelah Dzikir
Ada banyak sekali doa-doa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dan semua doa itu sangat baik untuk dibaca setiap selesai shalat. Namun di sini hanya akan dituliskan beberapa doa saja.

اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

“Ya Allah! Tidak ada siapa yang boleh menghalangi apa yang Engkau berikan, tidak ada siapa yang dapat memberi apa yang Engkau tegah dan tiada siapa yang berkuasa memberikan manfaat selain daripadaMu” (H.R. Bukhari-Muslim)

اللهم أعني على ذكرك وشكرك و حـسن عبادتك

“Ya Allah, bantulah saya untuk senantiasa berdzikir kepada-Mu, senantiasa mensyukuri ni’mat-Mu dan senantiasa membaguskan ibadah kepada-Mu.” (H.R. Ahmad, Abu Daud dan Nasai)

اللهم أجرني من النار

(7x)
“Ya Allah, lindungilah aku daripada api neraka) dibaca 7 kali tiap ba’da shalat (Maghrib dan Shubu) (H.R. Muslim)


اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أرد إلى أرذل العمر
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدنباَ وَأَعُوذُ بِك مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut dan aku berlindung kepada-Mu dari mencapai umur yang suburuk-buruknya (kepikunan) dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia dan aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur.” (H.R. Bukhari dan Tirmidzy)

اللهم إني أسألك علما نافعا ورزقا واسعا وعملا متقبلا

“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar diberi ilmu yang manfaat, rezeki yang luas, dan amalan yang diterima.” (H.R. Ahmad, Ibnu Syaibah, dan Ibnu Majah)

Adab-adab Berdoa Di sekitar Shalat Fardhu
a) Berdoa dengan perut yang diisi dengan yang halal (H.R. Ibnu Mardawaih)
b) Menghadap kiblat (H.R. Al-Bukhary)
c) Memperhatikan saat yang tepat untuk berdoa, seperti di tengah malam dan sehabis shalat fardhu (H.R. Turmudzy) (Lihat Bab Awal buku ini)
d) Mengangkat kedua tangan setentang kedua bahu (H.R. Abu Daud)
e) Memulai dengan istighfar, memuji Allah, dan membaca shalawat (H.R. Muslim, Abu Daud, Turmudzy, dll)
f) Harus ada sikap tawadhu’ (rendah hati) dan tadharru’ (rendah diri) dan rasa takut (Q.S. 7: 205)

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Q.S. Al-A’raf : 205)

g) Menyederhanakan suara, antara bisik-bisik dengan suara keras (Q.S. 17 : 110)
Firman Allah :

وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا

“Janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu (doamu) dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”

h) Tidak berdoa untuk keburukan atau memutus tali silaturahmi (H.R. Ahmad)
i) Tidak terburu-buru, maka doanya tidak akan dikabulkan. Terburu-buru maksudnya, belum waktunya dikabulkan lalu berkata : “Saya sudah berdoa terus tetapi belum dikabulkan”.
j) Berdoa tidak boleh setengah hati dan berkata kepada Allah : “Sekiranya Engkau mengendaki/sekiranya Engkau mau………….” (H.R. Abu Daud)
k) Memilih kalimat-kalimat yang luas maknanya, tidak tertuju kepada kepentingan yang sesaat dan ruang lingkupnya sempit (H.R. Ibnu Majah)
Misalnya : perkataan pangkat, jabatan, lulus ujian diganti kebaikan dunia, Perkataan uang, materi tertentu diganti dengan rezki yang luas, Perkataan badan langsing, kurus, kuat, dll diganti dengan kesehatan, Perkataan pintar, ilmu tinggi diganti dengan ilmu yang manfaat, Perkataan anak yang bergelar tinggi diganti dengan anak yang saleh
l) Jangan mendoakan diri, keluarga, anak, harta, pelayan dengan doa yang buruk (H.R. Jabir)
m) Isi doanya dimulai dari mendoakan diri sendiri dulu, baru untuk yang lain (H.R. Tirmidzy)
n) Menyapu muka dengan kedua telapak tangan setelah selesai berdoa. Hadits-hadits tentang ini semuanya lemah. Namun Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa karena banyaknya hadits tersebut , maka derajatnya bisa hasan. Imam Nawawy berkata bahwa menyapu muka untuk dipakai sendiri dibolehkan (Al-Adzkar : 175). Wallahu A’lam.

DOA SETELAH SHOLAT FARDLU

Astagfirullahal azhiimi, alladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuumu wa atuubu ilaih 3x.

Allahumma antas salaamu, wa minkassalaamu, wa ilaika yauudus salaamu, fahayyinaa rabbanaa bissalami, wa adkhilnal jannata daaras salaami, tabaarakta rabbana wa ta aalaita ya dzal jalaali wal ikram.

Bismillaahirrahmaanirrahiimi. ( Al Fatihah )

Alhamdulillaahi rabbil aalamiin. Arrahmaanirrahiim. Maaliki
yaumiddiin. Iyyaaka nabudu wa iyyaka nastaiin. Ihdinash shiraathal mustaqiim. Shiraathal ladziina anamta aalaihim ghairil maghdluubialaihim wa ladldlaaliin.

Allaahu laa ilaaha ilaa huwal hayyul qayyuumu. Laa takhudzuhuu sinatuw wa laa naumun, lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ardli mandzalladzi yasfau indahu illaa bi-idznihii yalamu maa baina aidihiim wa maa khalfahum wa laa yuhiithuuna bisyai-in min ilmihii illaa bimaa syaa-a wasi-a kursiyyuhus samaawaati wal ardla wa laa ya-uuduhuu hifzhuhumaa wa huwalaliyyul azhiim.(Al Baq. 255)

Syahidallaahu annahuu laa ilaaha illaa huwa wal malaaikatu wa ulul ilmi qaa-iman bil qisthi laa ilaaha illaa huwal aziizul hakiim. Innad diinaa indallaahil islaam.

Qulillaahumma maalikal mulki tutil mulka man tasyaa'u, wa tanziul mulka mimman tasyaa-u, wa tu-izzu mantasyaa-u, wa tudzillu man tasyaa'u, biyadikalkhairi innakaalaa kulli syai'in qadiirun/Ali Imran 26

Tuulijul laila finnahaari, wa tuulijun nahaara, fil laili wa tukhrijul hayya minal mayyiti, wa tukhrijul mayyita minal hayyi, wa tarzuqu man tasyaa-u bighairi hisaabin, Illaahii yaa rabbii (Ali Imran 27):

Subhaanallaah 33 x

Subhaanallahil aliyil aziimi, wa bihamdihi da iman :

Alhamdulliaah 33 x

Alhamdullillaahi rabbil aalamin, alaa kulli halin wafii kulli halin wanimatan, Allahu Akbar

Allahu Akbar 33 x

Allahu Akbar kabiiraw walhamdu lillaahi katsiira. Wasubhaanallahi bukrataw wa ashiilaa, laa ilaaha illallaahaahu wahdahuu laa syariikala, lahul mulku walahul hamdu yuhyi wa yumiitu wa huwa alaa kulli syai-in qadiirun, wa laa haula wa laa quwwata illa bilaahil aliyyil azhiimi. Astaghfirullaahalazhiimi 3 x

Bismillaahirrahmaanirrahiimi

Alhamdullillaahi rabbill aalamiin.

Hamdan yuwaafii niamahu wa yukaafii maziidahu.

Yaa rabbanaa lakal hamdu kamaa yanbaghii lijalali wajhika wa azhiimi sulthaanika.

Allaahumma shalli alaa sayyidinaa muhammadin wa alaa aali sayyidinaa muhammadin.

Allaahumma rabbanaa taqabbal minnaa shalaatanaa wa shiyaamanaa, warukuu-anaa wa sujuudanaa, wa qu-uudanaa watadlarru-anaa wa takhasysyuanaa wa ta-abbudanaa wa tammim taqshiiranaa, yaa Allahahu yaa rabbal 'aalamiina.

Rabbanaa zhalamnaa anfusanaa wa in lam taghfir lanaa, wa tarhamnaa lana kuunanna minal khaasiriina, rabbanaa wa laa tahmil alaina ishran kamaa hamaltahu alalladziina min qablinaa.

Rabbanaa wa laa tuhammilnaa maa thaaqata lanaa bihi, wafuannaa waghfir lanaa warhamnaa anta maulaanaa fanshunaa alal qaumil kaafiriina.

Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa bada idz hadaitanaa, wa hab-lanaa min ladunka rahmatan, innaka antal wahhaabu.

Rabbanaghfir lanaa wa liwaalidiinaa wa lijamii-il muslimiina wal muslimaati, wal muminiina wal muminaati al ahyaa-I minhum wal amwaati,innaka alaa kulli syai-iin qadiirun.

Rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanatan wa fil aakhirati hasanatan wa qinaa adzaaban naari.

Allaahummaghfir lanaa ma-al abraari. Subhaana rabbika rabbil izzati ammaa yashifuuna wa salaamun alal mursaliina wal hamdulillaahi rabbil aalamiin.

Tafsir Surat Al-Ikhlash

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Bismillahirrahmaanirrahiim

Allah berfirman.
Artinya :
“Katakanlah : “Dialah Allah, Yang Maha Esa” [Al-Ikhlash : 1]
“Allah adalah Ilah yang bergantung kepadaNya segala urusan” [Al-Ikhlash : 2]
“Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan” [Al-Ikhlash : 3]
“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” [Al-Ikhlash : 4]

Mengenai “basmalah” telah berlalu penjelasannya.

Sebab turunnya surat ini adalah, ketika orang musyrik atau orang Yahudi berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Beritakan kepada kami sifat Rabb-mu!” Kemudian Allah Ta’ala menurunkan surat ini [1]

Qul = “Katakanlah”. Pernyataan ini ditujukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya. “Huwa Allahu ahad” = “Dialah Allah Yang Maha Esa”. Menurut ahli I’rab, huwa adalah dhamir sya’n, dan lafdzul jalalah Allah khabar mubtada dan “Ahadun” khabar kedua. ‘Allahu Ash-Shomad’ kalimat tersendiri. “Allahu Ahadun” Yakni, Dia adalah Allah yang selalu kamu bicarakan dan yang selalu kamu memohon kepada-Nya. “Ahadun”. Yakni, Yang Maha Esa dalam kemuliaan dan keagungan-Nya, yang tiada bandingan-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Bahkan Dia Maha Esa dalam kemuliaan dan keagungan. “Allahu Ash-Shomad” adalah kalimat tersendiri Allah Ta’ala menjelaskan bahwa dia Ash-Shomad. Makna yang paling mencakup iallah Dia mempunyai sifat yang sempurna yang berbeda dengan semua mahkhluk-Nya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Ash-Shomad ialah yang sempurna Keilmuan-Nya, Yang sempurna Kesantunan-Nya, Yang sempurna Keagungan-Nya, Yang sempurna Kekuasaan-Nya. Sampai akhir perkatan-Nya [2]. Ini artinya bahwa Allah Ta’ala tidak membutuhkan makhluk karena Dia Maha Sempurna. Dan juga tertera dalam tafsir bahwasanya As-Shamad ialah yang menangani semua urusan makhlukNy-Nya. Artinya, Bahwa seluruh makhluk sangat bergantung kepada Allah Ta’ala. Jadi, arti yang paling lengkap ialah : Dia Maha Sempurna dalam sifat-sifat-Nya dan seluruh makhluk sangat bergantung kepada-Nya.

“Lam yaalid”. Bahwa Allah Azza wa Jalla tidak mempunyai anak karena Dia adalah Dzat Yang Maha Muali dan Maha Agung, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Seorang anak adalah sempalan dan bagian dari orang tuanya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah Radhiyallahu ‘anha.

“Artinya : Ia adalah bahagian dari diriku” [3]

Allah Azza wa Jalla tidak ada yang serupa dengan-Nya. Anak merupakan salah satu kebutuhan manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan dunia maupun untuk menjaga kesinambungan keturunan. Allah Azzan wa Jalla tidak memerlukan itu semua. Dia juga tidak dilahirkan karena tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Allah Azza wa Jalla tidak memerlukan seorang dari makhluk-Nya. Allah telah mengisyaratkan bahwa mustahil bagi-Nya mempunyai anak, seperti dalam firman-Nya.

“Artinya : Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri ? Dia menciptakan segala sesuatu ‘ dan Dia mengetahui segala sesuatu” [Al-An’am : 101]

Seorang anak membutuhkan orang yang melahirkannya.

Demikianlah, Allah adalah Dzat Yang Menciptakan segala sesuatu. Jika Allah menciptakan segala sesuatu berarti Dia terpisah dari makhluk-Nya.

Dalam firman-Nya : Lam yaalid” = “tidak beranak” merupakan bantahan terhadap tiga kelompok anak Adam yang menyimpang. Mereka adalah orang Musyrik, orang Yahudi dan orang Nasrani. Orang musyrik meyakini bahwa malaikat yang mereka itu ‘Ibadur Rahman’ berjenis perempuan. Mereka mengatakan bahwa malaikat tersebut adalah anak perempuan Allah. Orang Yahudi mengatkan ‘Uzair adalah anak Allah, dan orang Nasrani mengatakan Al-masih adalah anak Allah. Kemudian Allah mengingkari mereka semua dengan firman-Nya “Lam yaalid wa lam yuu lad” = “Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakan”, karena Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Pertama, tidak ada sesuatu yang mendahului-Nya, bagaimana mungkin dikatakan bahwa Dia dilahirkan.

Firman Allah.

“Artinya : Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” [Al-Ikhlash : 4]

Yaitu tidak ada sesuatu pun yang menyamai seluruh sifat-sifat-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan Dirinya mempunyai ayah atau Dia dilahirkan atau ada yang semisal dengan-Nya.

Sureat ini mempunyai keistimewaan yang sangat agung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Bahwa ia (surat Al-Ikhlash) menyamai sepertiga Al-Qur’an” [4]

Surat ini menyamai sepertiga Al-Qur’an tetapi tidak dapat menggantikan sepertiga Al-Qur’an tersebut. Dalilnya, kalau seorang membaca surat ini sebanyak tiga kali di dalam shalat, masih belum mencukupi sebelum ia membaca surat Al-Fatihah. Padahal jika ia membacanya tiga kali, seolah-olah ia membaca semua Al-Qur’an, tetapi tidak dapat mencukupinya. Jadi, kamu jangan heran ada sesuatu yang sebanding tetapi tidak mencukupi. Misalnya sabda Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Barangsiapa membaca :

“Artinya : Tiada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nyalah segala kekuasaan dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu”

Seakan-akan ia telah membebaskan empat orang budak dari keuturunan Isma’il atau dari anak Ismail” [5]

Padahal jika ia berkewajiban untuk membebaskan empat orang hamba, dengan mengatakan dzikir ini saja tidak cukup untuk membebaskan dirinya dari kewajiban membebaskan hamba tersebut. Oleh karena itu, sam bandingnya sesuatu belum tentu dapat menggantikan posisi yang dibandingkan.

Surat ini dibaca Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada raka’at kedua shalat sunnah Fajr, shalat sunnah Maghrib dan shalat sunnah Thawaf [6]. Begitu juga beliau membacanya dalam shalat witir [7], karena surat ini merupakan landasan keikhlasan yang sempurna kepada Allah, inilah sebabnya dinamai dengan surat Al-Ikhlash.

[Disalin dari kitab Tafsir Juz ‘Amma, edisi Indonesia Tafsir Juz ‘Amma, penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari, penerbit At-Tibyan – Solo]
________
Foot Note
[1]. Hadits riwayat Ahmad dalam Musnad (5/133), At-Tirmidzi dalam Kitab Tafsir, bab : Surat Al-Ikhlash, no. (3364)
[2]. Hadits riwayat Ath-Thabrany dalam Tafsirnya (30/346). Dan Al-Baihaqy dalam Asma Wash Shiafat hal. 58-59
[3]. Hadits riwayat Al-Bukhary dalam kitab Fadhilah Para Sahabat, bab : Budi pekerti kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Fatimah Radhiyallahu ‘anha no. (3714). Dan Muslim dalam kitab Fadhilah Para Sahabat, bab : Fadhilah Putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, no (2449) (93).
[4]. Hadits riwayat Al-Bukhary dalam Kitab Fadhilah Al-Qur’an, bab : Fadhilah “Qul Huwa Allahu Ahad” no. (5015) Dan Muslim dalam kitab Shalat Para Musafir, bab : Fadhilah membaca “Qul Huwa Allahu Ahad”, no. (811) (30)
[5]. Hadits riwayat Muslim dalam kitab Dzikir, bab : Fadhilah Tahlil, no. (2693) (30)
[6] Telah disebutkan takhrijnya.
[7]. Hadits riwayat At-Tirmidzi, dalam Bab-bab Witir, bab : Bacaan yang dibaca dalam shalat witir, no. (463). Ia berkata : “hadits ini hasan gharib”.

Perbaikilah Niat & Perbanyaklah Membaca Al-Qur'an

Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Saya hafal dua juz dari Al-Qur’an. Setiap saya menghafal surat berikutnya saya lupa sebagian ayat yang telah saya hafal sebelumnya. Tolong berikan saya petunjuk pada obat penyakit lupa ini. Semoga Allah membalas kebaikan Anda ?

Jawaban.
Pertama : Perbaiki niat anda dalam membaca Al-Qur’an Al-Karim
Kedua : Perbanyaklah membaca Al-Qur’an Al-Karim, karena sesunggguhnya Al-Qur’an Al-Karim ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membutuhkan penjagaan (muraja’ah) dan banyak membaca, karena Al-Qur’an itu lebih cepat terlepas melebihi unta dari ikatannya. [1]

Berarti Al-Qur’an membutuhkan dari anda banyak-banyak muraja’ah dan membaca. Bila engkau telah hafal satu surat, maka seringlah membaca dan mengulang-ngulangnya sampai mantap dan kuat, jangan pindah ke surat lain, kecuali bila engkau sudah menghafalnya dengan itqan (mantap).

Ringkasnya adalah :

[1]. Engkau wajib meluruskan niat dan mengamalkan apa yang telah diajarkan oelh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu. Dia berfirman.

“Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah ; Allah mengajarimu” [Al-Baqarah : 282]

[2]. Engkau wajib memperbanyak membaca (Al-Qur’an).

[3]. Mantapkan hafalanmu (yang sudah ada), jangan pindah dari satu ayat ke ayat lain, dari satu surat ke surat lain, kecuali setelah engkau memantapkan hafalan yang sebelumnya dan terpancang dalam ingatanmu.

[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur’an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-Qur’an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 5033 kitab Fadha’il Al-Qur’an, bab : 23 dan Muslim no. 1/23 (791) Kitab Shalat Al-Musafirin bab 33

Penulisan Al-Qur'an Dan Pengumpulannya

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.

Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak

Dalam kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.

Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.

Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.

Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.

Dalam kitab Shahih Bukhari [3] disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.

Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.

Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud [4] dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.

Mush’ab Ibn Sa’ad [5] mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakah mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.

Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.

Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.

Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.

Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan langit, Tuhan bumi dan Tuhan sekalian alam.

[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy]
__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor 3064
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits nomor 4978
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid : 2 halaman 954, dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid 3, halaman 229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Mashaahif halaman 22
[5]. Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12